Kedai kopi yang mengusung konsep
kopitiam semakin menjamur. Sarana nongkrong dengan secangkir kopi nan
murah meriah menjadi daya tarik pembeli yang ingin bersantai. Tak heran,
juragan kopitiam bisa balik modal dengan cepat. Tertarik?
Kopitiam merupakan kedai kopi
tradisional gabungan kata “kopi” dari bahasa melayu dan “tiam” dari
berbahasa hokkian yang berarti kedai. Sejak dua tahun terakhir, kedai
kopi jenis ini makin diminati. Suasana kedai yang santai, akrab, dan
menu murah meriah menjadi sarana nongkrong yang pas sekali bagi kaum
muda dan orang-orang kantoran.
Salah satu alasan membuka bisnis
ini adalah
margin keuntungan yang besar, antara 25% hingga 30%. Bahkan,
selain punya usaha kopitiam, Ashari, pemilik Singaporean Coffee Stall di
Batam, yang sudah memiliki tujuh kopitiam di Batam mengaku bisa meraup
keuntungan dari jasa lain, yakni menyiapkan kopitiam di beberapa kota.
“Saya hanya bertugas menyiapkan kedai milik investor hingga siap untuk
melayani pengunjung,” ujarnya, kepada Kontan, beberapa waktu lalu.
Dalam sehari, satu kedai kopi
Ashari bisa menghimpun omzet hingga Rp 2 juta. Artinya, sebulan, satu
kopitiam bisa mengantongi Rp 60 juta. Sebagai gambaran, satu kilogram
kopi seharga Rp 60.000 bisa menjadi sekitar 60 cangkir kopi item seharga
Rp 10.000 per cangkir. Itu belum termasuk pendapatan dari minuman dan
menu makanan yang lain. Menggiurkan?
Area Manager Kopitiam Oey Tebet
Irmansyah bilang, dalam sehari, setidaknya 130 tamu datang ke kedai kopi
milik pakar kuliner Bondan Winarno ini. Rata-rata dalam sebulan,
Kopitiam Oey bisa memperoleh penghasilan sebesar Rp 100 juta. Tahun ini,
pihaknya menargetkan kenaikan omzet sebesar 20%.
“Kopitiam masih menjadi bisnis yang
menjanjikan. Terbukti, semakin banyak cabang-cabang baru Kopitiam Oey
dan kopitiam-kopitiam lain,” ujarnya.
Tren kopitiam juga melanda kota
gudeg. Kopitiam 51 yang baru dibuka pertengahan tahun 2010 lalu, saban
hari dikunjungi 90 pembeli hingga 100 pembeli. “Saat kami buka, belum
ada kopitiam di Yogyakarta. Sekarang, jumlahnya mulai banyak,” kata
General Manager Kopitiam 51, Dicky Hermanto.
Dicky memaklumi persaingan bisnis
kedai kopi yang kian ketat. Tapi, Kopitiam 51 memiliki cara tersendiri
menarik pengunjung. Tak seperti kopitiam pada umumnya yang mengusung
kopi sebagai menu utama, Kopitiam 51 justru mengangkat menu makanan,
seperti bandeng tanpa duri sebagai menu utama. “Kami menggunakan nama
kopitiam supaya orang tak ragu datang. Orang Yogyakarta yang ke luar
kota pasti kenal kopitiam,’’ ujarnya.
Dicky bilang, semakin banyak
kopitiam yang muncul justru membantu memperkuat merek itu, meskipun
masing-masing kedai memiliki karakteristik menu dan suasana yang
berbeda. “Kami punya pengalaman, ketika awal berdiri di Yogyakarta,
cukup sulit memperkenalkan kopitiam kepada masyarakat. Sebab, masih
banyak masyarakat Yogyakarta yang belum kenal,” jelasnya.
Untuk memulai usaha kopitiam
sendiri, nilai modal yang harus disiapkan cukup variatif, tergantung
konsep dan skala usaha. Tapi paling tidak, Anda harus menyiapkan modal
Rp 250 juta. Modal sebesar itu digunakan untuk membuka usaha seluas 50
meter persegi (m²) hingga 60 m². Sekitar 30% modal digunakan untuk
membeli peralatan dapur, 40% untuk renovasi dan membeli perlengkapan
interior, lalu sebesar 30% digunakan sebagai belanja bahan baku awal.
Dengan gerai seluas itu, paling
tidak Anda harus beromzet Rp 2 juta per hari supaya usaha Anda bisa
balik modal dalam kurun waktu tak lebih 2 tahun.
Karyawan yang dibutuhkan setiap
gerai lima atau enam orang. Total porsi gaji karyawan sekitar 15% dari
omzet per bulan. Biaya lain berupa ongkos belanja bahan baku memakan 20%
omzet, sewa tempat (25%), listrik, air, dan telepon (5%), dan promosi
(5%). “Promosi setiap bulan bertujuan untuk tetap menarik minat
pengunjung,” kata Ashari. Selain menyebar brosur, bentuk promosinya
antara lain memberikan makanan gratis. Misalnya, minum kopi gratis roti
isi srikaya.
Ashari menyarankan, supaya modal
balik cepat, sebaiknya lokasi usaha tak terlalu luas. “Justru di konsep
kopitiam, kursi saling berimpit. Suasana memang seperti pasar,” katanya.
Menurut Ashari, lokasi usaha sangat menentukan keberhasilan sebuah
kedai kopi. Harga sewa murah serta lokasi strategis alias banyak orang
lalu lalang orang akan sangat membantu peningkatan omzet.
Kopitiam 51 memiliki cara unik
untuk menarik minat. Konsep garden (kebun) yang diusung tak pelak
mengharuskan investasi yang cukup besar, yakni Rp 1 miliar.
Dicky memerinci, renovasi tempat
usaha membutuhkan dana Rp 300 juta. Kebutuhan membeli perlengkapan dan
peralatan sebesar Rp 350 juta. “Kami juga membuat konsep bar, lengkap
dengan sound system. Jadi, investasinya cukup besar,” katanya. Sisanya,
Rp 350 juta, digunakan untuk biaya promosi dan dana cadangan.
Asumsi pendapatan Kopitiam 51
adalah Rp 75 juta per bulan. Asumsinya, setiap hari ada 100 pengunjung
yang belanja senilai Rp 25.000. Sementara, pengeluaran per bulan antara
lain untuk gaji 15 karyawan sekitar Rp 13,5 juta, belanja bahan Rp 30
juta, dan membayar listrik dan air Rp 6 juta. “Kebetulan ini lahan
sendiri, jadi tidak ada pengeluaran sewa lokasi,” kata Dicky. Keuntungan
per bulan bisnis ini sekitar
Rp 25,5 juta. Artinya, Kopitiam 51 hanya butuh waktu sekitar tiga tahun untuk balik modal.
Dicky mengakui, pencapaian BEP
cukup lama karena konsep garden. “Selain menu, kami memang menawarkan
suasana. Nah, konsep ini yang bikin mahal,” katanya. Apalagi, omzet bisa
turun ketika masuk musim hujan. Namun, Dicky yakin bisnis ini kian
bersinar karena pemain yang makin ramai. (bn)
No comments:
Post a Comment